January 22, 2014

Mpasi, What to Start?

Alhamdulillah, 21 Januari kemarin Omar genap 180 hari, saatnya mulai Mpasi,  dari umur 4 bulan Ibunya sudah sibuk nanya sana-sini seputar Mpasi, akhirnya diputuskanlah Mpasi panduan WHO yang akan diterapkan ke Omar. Kenapa sih si ibu memilih panduan WHO? (ini semua mengutip dari files nya AIMI dan HHBF ya, keduanya closed group, kalau mau bergabung boleh langsung ke TKP nya di facebook)

Menurut panduan WHO  mulai usia enam bulan  bayi boleh diberikan menu karbo lengkap dengan sayuran dan protein nabati maupun hewani, pemberian MPASI mengikuti anjuran WHO sendiri sangat di dukung oleh AIMI ( Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia ) karena beberapa alasan, diantaranya:

PERTAMA, angka Anemia Defisiensi Besi (ADB), terutama untuk bayi antara usia 6-12 bulan itu sangat tinggi di Indonesia, yaitu lebih dari 40%. Sesuai rekomendasi WHO, negara-negara dengan angka ADB di atas 40% harus memiliki program nasional untuk pemberian zat besi, baik zat besi dalam makanan maupun zat besi dalam bentuk suplemen. Dan yang juga harus Anda ketahui, ADB bisa menyerang semua bayi, terlepas dari apapun latar belakang ekonominya dan seringkali ADB tidak menunjukkan tanda-tanda fisik yang jelas. Nah, sumber zat besi yang paling mudah diserap tubuh adalah yang berasal dari protein hewani. Itu kenapa, protein hewani dalam metode WHO disarankan dikenalkan sejak usia 6 bulan. 

KEDUA, bahwa angka bayi/balita stunting atau pendek di Indonesia sangat tinggi? Berdasarkan statistik UNICEF dan Kementerian Kesehatan, sepertiga bayi/balita di Indonesia (angka pastinya sekitar 35,6%) mengalami stunting atau bayi pendek. Saking tingginya angka ini, sampai-sampai lembaga internasional seperti UNICEF dan Uni Eropa tahun lalu membuat kerjasama khusus untuk membantu menekan angka stunting di Indonesia. Apa efek dari bayi stunting? Bayi/balita yang mengalami stunting memiliki potensi tumbuh kembang yang tidak sempurna, kemampuan motorik rendah, mempunyai produktivitas yang rendah dan memiliki risiko untuk menderita penyakit tidak menular. Kalau kita ambil data dari WHO, sepertiga anak Indonesia yang mengalami stunting itu, pada umur 5 bulan sudah kekurangan tinggi badan sekitar sekitar 7 cm. Dan pada umur 17 tahun dia sudah kehilangan hampir 14 cm. Rata-rata penyebab stunting adalah standar pemberian asupan yang kurang tepat, termasuk pemberian MPASI yang tidak memenuhi salah satu elemen penting pertumbuhan yaitu: protein. Tahukah Anda bahwa protein untuk bayi di bawah 1 tahun menyumbang 60-75% terhadap proses pertumbuhan? Jadi, tentu Anda paham apa sebabnya jika protein terlambat diberikan. Berdasarkan fakta-fakta di lapangan inilah maka AIMI mensupport pemerintah untuk mengedukASI pemberian MPASI dengan metode WHO. Karena salah satu cara untuk memperbaiki angka-angka statistik di atas adalah dengan fokus pada edukASI pemberian asupan yang benar dalam 1000 hari pertama kehidupan anak sesuai program pemerintah “Gerakan Nasional Sadar Gizi” . Apa saja di dalamnya? Di dalamnya berarti pemberian ASI hingga dua tahun dan pemberian MPASI yang benar.

Berbekal pengetahuan diatas, eksekusi hari pertama langsung dimulai dengan perkenalan serealia, emaknya sengaja cuti biar jadi orang pertama yang masak untuk omar sekaligus nyuapin makanan pertamanya dia *horeee…*

Bubur nasi menjadi pilihan pertama, masaknya gampang banget tinggal masukin beras ke dalam slow cooker takahi, isi air +/- setengah badan sc, colok, tinggal semaleman besok pagi jadi deh.. *solusi praktis buat ibu yang minim waktu (dan pemalas macam saya)*, biar buburnya wangi saya masukin daun salam, sorenya masuk pure buah, selama 2 hari berturut-turut aturan makannya seperti ini, pagi sereal, sore buah atau sayur, berhubung WHO tidak mengenal sistem 4 days rule, jadilah tiap hari makanannya Omar ganti.

Dan masalah pun muncul, 2 hari pertama Mpasi omar gak pup! Padahal idealnya ketika bayi sudah mulai makan, berarti dia harus pup setiap hari, sebagai indikasi makanan yang dicerna terserap sempurna dan sistem pencernaan bekerja dengan baik.  Mulai lah emaknya deg-deg an, apalagi dapat laporan dari sang uti kalau hari ketiga Mpasi, omar mulai pup tapi butuh usaha ekstra untuk ngedennya, keringetan, muka merah, gak tega banget deh si uti ngeliatnya. Alhamdulillah dapet info dari emaknya Oliv alias Mama Ira, ”coba pure pear put!!” * dan malem-malem sehabis pulang ngantor langsung cus melipir dulu kita ke supermarket(susah nyari pasar yang buka malem deket rumah) buat beli pear doang, setelah masuk pear mulai deh pup nya omar lancar jayaaaa, pup tiap hari sehari 2-3x. Ternyata setelah saya bertanya-tanya di group juga (dasar emak-emak groupies) kesalahan saya adalah walaupun saya mengenalkan serealia ke Omar, tetapi yang saya pakai adalah beras organic, tetep saja kandungan seratnya jauh lebih tinggi dari beras biasa, serat memang bagus untuk pencernaan Orang Dewasa, tetapi tidak berlaku untuk bayi, bayi yang terlalu banyak serat justru memicu sembelit, jadi yang ideal memang asupan gizi seimbang.

Bagan Panduan Gizi Seimbang


Selama 2 minggu perkenalan menu tunggal, semua jenis serealia Insya ALLAH sudah masuk ke dalam perutnya omar, beras organik, beras biasa, ubi madu, ubi kuning, ubi ungu, singkong, kabocha, wortel, brokoli, jagung, banyak laahh.. sayur, buah yang umum-umum sudah dikenalin semua.
Masuk minggu ketiga, saatnya bereksperimen dengan protein hewani, saya pilih Ikan patin! Menu pertamanya, bubur beras mix Kabocha, brokoli, patin. Alhamdulillah suka, semenjak saat itu hampir semua makanan sudah masuk ke dalam perutnya Omar, sekalipun ada reaksi alergi gak perlu menunggu waktu yang terlalu lama, kurang dari 24 jam sudah terlihat reaksinya, seperti ketika saya pertama kali memberikan dia telur puyuh, gak lama langsung ruam bokongnya. Awalnya saya pikir ini karena clodi nya saya cuci dengan detergen biasa, bukan ultraco seperti yang seharusnya, tetapi setelah saya inget-inget apa mungkin karena Omar belum siap dengan telur puyuh ya? Saya coba stop telur puyuh keesokan harinya, dan tetap mencuci clodi dengan detergen biasa, Alhamdulillah hilang ruam popoknya Omar.

Saya bukan type ibu yang rajin mencatat makanan apa saja yang sudah Omar makan, pun tidak mencatat reaksi tertentu pada makanan-makanannya Omar, dari kami berdua (saya dan ayahnya) memang tidak ada riwayat alergi makanan, makanya saya pede saja memberikan Omar makanan apapun selama itu sehat dan bebas dari bahan pengawet.

Salah satu alasan saya memilih metode WHO pun karena dengan menggunakan metode WHO, bayi mengkonsumsi apa yang keluarga lain makan,  bukan memasak secara khusus, jika hari ini saya memasak sayur sop, Omar pun akan makan sayur sop, tinggal gula dan garamnya saja yang saya hilangkan, gak ada istilahnya membuat mpasi itu repot dan butuh keahlian khusus, tinggal sesuaikan teksturnya saja kok. Kalau ada yang Tanya, “berarti kalau keluarga makan makanan gak sehat, bayinya ikutan juga dong?” justru dari metode WHO inilah saya jadi ikutan belajar, bahwa yang membutuhkan makanan sehat bukan hanya Omar saja, tetapi juga saya dan Ayahnya, yang harus rutin mengkonsumsi buah bukan Cuma Omar, tapi orangtuanya pun juga harus rutin kan? Dari metode WHO ini juga harapannya saya bisa mengajarkan Omar untuk makan apapun yang ada di tukang sayur, jangan karena dia bayi lantas saya memberikan dia tuna sementara emak dan bapaknya “hanya” mengkonsumsi lele, Omar pun harus ikutan makan lele lah.

Alasan lain saya memilih panduan WHO adalah saya gak perlu menyediakan budget khusus untuk menu makanannya Omar, sudah banyak dijelaskan kan ya di paragrap-paragrap diatas sana, kalau WHO itu disesuaikan dengan konsumsi makanan keluarga sehari-hari, jadi saya gak perlu melakukan pemisahan atau penambahan budget untuk makanannya Omar, lebih hemat kan? Kok kesannya saya jadi ibu pelit banget sih? Bukan, saya sih gak pelit tapi saya hanya berusaha memberi informasi sesuatu yang saya pahami bahwa “Anak sehat bukan berarti makanan harus mahal”, gak perlu beli di supermarket kok, apalagi supermarket import, tongkrongin saja tukang sayur subuh-subuh, Insya Allah dapet deh menu gizi seimbang untuk sekeluarga. 








No comments:

Post a Comment